Sabtu, 19 Mei 2012

Opera Batak Sebagai Sebuah Pertunjukan Drama



Penulis: Ahmad Samin Siregar (Dosen Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara)
Sumber: JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume II No. 1 April Tahun 2006


Abstract
This paper begins with discussing about the understanding of drama and its characteristics, followed by discussing about the role of drama in society. Further more, in another part of this paper is also concerning wish the Batak Opera as a kind of drama performance in Batak Toba society.The are many kinds of stories which performed in the Batak Opera such as legend, myth, and many other stories concerning wish the dayly life. Usually, all of those with be performed at night.The Batak Opera performance usually followed by folk song which very popular in Batak Toba society. For instance, some of the texts of Batak Opera such as: “Siboru Tumbaga”, “Si Tionina”, and “Guru Patimpus”, had been performed by Tilhang Gultom. Finally, this paper will be focused on “Si Boru Tumbaga” which performed by the young generation of Batak Toba.
Key words: the Batak opera, drama, social values 

1. PENDAHULUAN
Kesenian merupakan salah satu bidang pembicaraan yang cukup luas cakupannya.
Ada beberapa cabang kesenian seperti sastra, lukis, tari, dan musik. Di samping itu, ada pula drama yang juga merupakan bagian dari hasil kesenian itu. Drama sangat erat hubungannya dengan beberapa cabang seni lainnya seperti dengan seni tari, seni musik, seni suara, seni peran, dan seni sastra. Oleh karena itu, beberapa orang seniman haruslah dapat bersama-sama membangun suatu pertunjukan berupa drama ini. Kesemuanya ini telah menunjukkan kepada kita betapa pentingnya cabang seni yang satu bagi cabang seni yang lainnnya. Jadi, cabang-cabang seni ini berkaitan dengan erat dan saling memerlukan. Drama merupakan salah satu hasil kesenian. Drama sebagai hasil kesenian merupakan bagian dari keindahan. Oleh karena itulah, drama itu harus mempunyai unsur-unsur estetika di dalamnya. Drama merupakan suatu suguhan yang terwujud dalam suatu harmoni antara bagian-bagiannya. Pertunjukan drama menyangkut yang dilihat  berupa laku para pemain dan dekorasi panggung serta yang didengar berupa dialog atau kata-kata dan musik. Kesemuanya ini membentuk suatu gubahan yang secara menyeluruh dapat dinikmati oleh penontonnya. Jadi, yang ditangkap penonton dari pertunjukan sebuah drama adalah keseluruhan sebagai bagian kesatuan, bukan bagian-bagian yang lepas satu dengan yang lainnya. Keseluruhan sebagai bagian kesatuan (unified whole) merupakan hal yang mutlak diperlukan pertunjukan drama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995: 243), kata drama antara lain berarti ‘dua cerita atau kisah, terutama yang melibatkan konflik atau emosi, yang khusus disusun untuk pertunjukan teater.’ Jadi, kata drama mempunyai arti yang sangat luas. Memang ada yang mengatakan bahwa drama adalah pertunjukan yang memakai mimik. Ada pula yang memberi batasan secara umum dengan menyatakan bahwa drama adalah suatu perbuatan atau pertunjukan. Ada pula yang mengatakan bahwa drama adalah suatu pertunjukan lakon. Oleh karena itu, ada drama sebagai naskah dan ada drama sebagai pertunjukan. Jadi, drama merupakan suatu cerita yang dikarang dan disusun untuk dipertunjukkan oleh para pelaku di atas panggung di depan publik. Secara keseluruhan pertunjukan drama  merupakan suatu hasil seni yang mengandung unsur keindahan yang didorong untuk melahirkan emosi dan meminta kehalusan rasa. Pengertian drama dengan sendirinya menyangkut ciri-ciri: 1) dapat berbentuk prosa dan puisi; 2) sangat erat hubungannya dengan seni lainnya seperti seni sastra; 3) mementingkan dialog, gerak, dan perbuatan; 4) merupakan suatu lakon yang dipentaskan di atas panggung; 5) merupakan seni yang menggarap lakon mulai dari penulisannya hingga pementasannya; 6) membutuhkan ruang, waktu, pemain, penonton; 7) merupakan kehidupan yang disajikan dalam gerak; 8) adalah sejumlah kejadian yang memikat dan juga menarik hati. Begitu luasnya cakupan pengertian drama ini, sehingga sangat erat hubungannya dengan cabang seni lainnya. 
Drama ini ada yang bersifat tradisional dan ada pula yang bersifat modern. Drama tradisional di tengah-tengah masyarakat etnik/daerah bermacam-macam jenis dan namanya. Drama tradisional ini ada yang bernama makyong, mandu, mamanda, Dul Muluk bangsawan (Melayu), kentrung, jemblung, wayang wong, langen-driya, wayang topeng, ketoprak, ludruk (Jawa), longer (Jawa Barat), lenong (DKI Jakarta), sinrilik (Sulawesi Selatan), bakaba, randai (Minangkabau), wayang wong, gambuh, arja, janger, drama gong (Bali), bondong, opera Batak (Tapanuli, Sumatera Utara), dan cekepung (Bali/Lombok). Semua drama yang bersifat tradisional ini masih dapat ditemukan dan masih dimainkan di daerahnya masing-masing dengan gaya dan keadaan yang sangat sederhana.  
2. PERANAN DAN UNSUR DRAMA
Drama mempunyai peranan tertentu di suatu daerah. Peranan drama ini di tengah-tengah masyarakat daerah bermacam-macam. Ada yang dipergunakan sebagai hiburan dan tontonan. Di samping itu, ada juga drama yang dipergunakan sebagai sarana upacara, media komunikasi, dan juga sebagai pengucapan sejarah. Drama daerah  dapat berfungsi  sebagai hiburan dan tontonan bagi orang-orang yang berpartisipasi dalam kegiatan tertentu ataupun mereka yang khusus menjadi penonton. Drama daerah  sebagai sarana upacara dapat dilihat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali umpamanya. Ada drama yang dipertunjukkan sebagai bagian dari upacara keagamaan seperti Topeng Pajegan  (Bali) serta drama ritual belian (Kalimantan). Drama dapat pula berperan sebagai sarana upacara. Dalam kesempatan seperti ini, drama itu dapat mengandung masalah-masalah spiritual yang ada di suatu daerah tertentu. Kemudian drama dapat pula berperan sebagai media komunikasi. Hal itu dimungkinkan karena drama memang selama ini banyak dijadikan masyarakat Indonesia sebagai sarana komunikasi. Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (dulunya Departemen Penerangan), umpamanya, telah meningkatkan komunikasinya dengan mempergunakan berbagai jenis drama daerah karena dengan itu masyarakat dapat menerima informasi dengan lebih cepat. Melalui suatu program yang disebut dengan sosiodrama, pemerintah menyebarkan informasi mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah pedesaan. Dengan kata lain, pemerintah  mempergunakan drama itu  sebagai alat yang ampuh untuk menyebarkan berbagai informasi yang diinginkan. Hal itu sesuai dengan karakteristik drama daerah Indonesia yang bersifat peran serta komunal. Untuk itu, para pelaku drama mengharapkan agar masyarakat dapat memahami apa yang mereka sampaikan. Sebaiknya, masyarakat pun mengharapkan ada manfaat dari apa yang mereka saksikan melalui  pertunjukan drama tersebut. Di samping itu, drama  juga mampu berperan sebagai pengucapan sejarah. Untuk mengungkapkan kembali sejarah, drama daerah merupakan sebuah wujud seni pertunjukan yang mengajak masyarakat untuk mengenal sejarah bangsa, sejarah leluhur, dan sejarah lainnya. Hal seperti ini masih berlaku sampai sekarang dan tampaknya pertunjukan drama daerah semacam ini mendapat perhatian yang sangat besar dari masyarakat daerah. Untuk itu, drama daerah ini perlu terus dipupuk dan dipelihara (Bandem dan Sal Murgianto 2000:    27–33 ). Dengan memupuk dan memelihara drama daerah ini, salah satu usaha untuk melestarikan kebudayaan daerah itu dapat terus terjaga dan dapat terus berlangsung.  Ada beberapa unsur penting yang harus diperhatikan dalam sebuah drama. Drama dibangun dengan beberapa unsur penting seperti alur, penokohan, dan dialog. Umumnya, alur sebuah drama haruslah bergerak maju dari suatu permulaan/eksposisi melalui suatu pertengahan/ komplikasi menuju suatu akhir/resolusi. Bagian permulaan/eksposisi ini biasanya memperkenalkan para pelaku kepada penonton yang akan dikembangkan di bagian utama drama tersebut. Sedangkan bagian pertengahan/komplikasi bertugas untuk mengembangkan konflik. Kemudian bagian akhir/resolusi memberikan jalan keluar dari konflik yang timbul di dalam bagian pertengahan/konflikasi. Penyelesaian atau jalan keluar dari konflik tersebut dapat berbentuk kesedihan (unhappy-end) ataupun kegembiraan (happy-end). Bagian penokohan harus menggambarkan watak pelaku drama secara singkat dan padat. Untuk itu, perlu  emotret para pelakunya dengan tepat dan jelas. Di sinilah, penulis drama mempergunakan beberapa jenis pelaku dalam suatu pementasan drama. Ada pelaku utama, ada pelaku tambahan, dan ada pelaku pelengkap. Ada pelaku yang selalu bertolak belakang dengan pelaku lainnya, tetapi ada juga pelaku yang membantu menjelaskan pelaku lainnya. Kemudian ada pula pelaku yang berperan dengan tepat dan tangkas, pelaku yang statis mulai dari awal sampai akhir pementasan, dan pelaku yang  mengalami  perkembangan selama pertunjukan. Lalu dialog merupakan bagian penting dari pertunjukan suatu drama. Sudah tentu tanpa dialog, pertunjukan drama kurang dapat dipahami oleh penonton dan mengurangi keberhasilan pertunjukan drama tersebut. Jadi, dialog yang berhasil dalam suatu pertunjukan drama haruslah memenuhi dua hal, yaitu 1) harus dapat mempertinggi nilai gerak, dan 2) harus baik dan bernilai tinggi.
Dialog harus  dapat menarik perhatian penonton dan disampaikan dengan wajar. Dialog  juga harus lebih terarah dan teratur dibandingkan dengan percakapan sehari-hari. Oleh karena tulah, dialog harus menghindarkan kata-kata yang tidak perlu, disampaikan dengan jelas, terang, mudah dipahami, dan menuju sasaran. Pendeknya, dialog tidak boleh bertele-tele. 
Ada beberaba hal lagi yang juga sangat menentukan dalam mementaskan sebuah drama. Dalam hal ini drama memerlukan aktor dan aktris, pentas (tempat pertunjukan), dekor, musik, dan tata lampu atau tata cahaya. Aktor dan aktris merupakan pelaku dalam sebuah drama. Para pelaku inilah yang membangun dan menjalankan cerita drama tersebut. Para pelaku untuk pertunjukan drama haruslah mempunyai bakat, menguasai teknik permainan, dan giat berlatih. Para pelaku ini merupakan bahagian yang sangat penting dalam pertunjukan drama. Dengan kata lain, pertunjukan drama tidak akan mungkin berlangsung dengan baik tanpa aktor atau aktris. Drama sebagai suatu pertunjukan sudah tentu sangat memerlukan tempat berupa pentas. Tempat pertunjukan drama ini dapat berbentuk permanen, tetapi dapat pula berupa tempat yang tidak permanen seperti lapangan terbuka ataupun trotoar jalanan. Mungkin juga di pasar, di sekolah, ataupun di ruangan tertutup lainnya. Jadi, ada pentas yang direncanakan dan dibangun dengan sengaja, tetapi ada juga pentas yang dipilih dari apa yang sudah tersedia. Sudah tentu, tempat pementasan drama ini ikut menentukan (naskah) drama yang dipilih untuk dipertunjukkan. Oleh sebab itu, dekor yang dipergunakan untuk pementasan drama pun bermacam-macam bentuknya. Ada dekor yang sudah tetap dan dipersiapkan dengan baik.
Dekor yang seperti ini biasanya dapat dibongkar-pasang sewaktu-waktu dan dipergunakan berulang-ulang sesuai dengan kepentingannya. Namun, ada juga pementasan drama yang mempergunakan dekor alam. Artinya, pementasan drama itu hanya mempergunakan apa yang ada di tempat pementasan tersebut. Sedangkan musik yang dipergunakan pertunjukan drama pun ada dua macam sehubungan dengan cara penyampaiannya. Ada pertunjukan drama yang langsung diiringi musik yang lengkap dengan pemainnya. Umumnya, pertunjukan drama dengan kondisi seperti ini memerlukan biaya yang lebih besar. Namun, ada juga pertunjukan drama dengan mempergunakan musik rekaman  atau kaset. Untuk itu, diperlukan seorang atau tim penata music  yang terampil. Lalu tata lampu  atau tata cahaya  juga bermacam-macam bentuknya. Tata lampu  atau tata cahaya  ini ada yang sangat sederhana dan seadanya saja. Bahkan, pertunjukan drama pada masa dahulu terkadang mempergunakan lampu petromaks. Namun sekarang ini, tata lampu atau tata cahaya ini untuk pertunjukan suatu drama sudah ditangani oleh tim penata lampu atau penata cahaya yang  profesional. Lagi pula peralatan lampu dan cahaya yang dipergunakan suatu pertunjukan drama masa kini juga sudah semakin modern dan semakin canggih. Akibatnya, masalah lampu dan cahaya ini dalam sebuah pertunjukan drama harus diurus oleh orang tertentu.         
3. OPERA BATAK SEBAGAI PERTUNJUKAN DRAMA    
Pertunjukan kesenian yang ada dalam masyarakat Toba bermacam-macam. Untuk pertunjukan seni drama, umpamanya, masyarakat Toba mengenal Opera Batak. Jadi, Opera Batak adalah sejenis drama rakyat masyarakat Toba dengan mementaskan berbagai cerita seperti legenda, mitos, cerita kepahlawanan, dan masalah-masalah kehidupan sehari-hari. Drama rakyat Opera Batak ini biasanya dimainkan pada malam hari sebagai pertunjukan rakyat dengan mengutip bayaran untuk tanda masuk/karcis. Tempat pertunjukan drama rakyat Opera Batak ini dilakukan  di sebuah lapangan atau di sebuah gedung pertunjukan yang lebih dahulu dipersiapkan dengan sebuah pentas dan tempat pemain di belakang pentas tersebut. Dengan demikian, drama rakyat Opera Batak ini umumnya sudah dilaksanakan di atas pentas yang dibuat secara khusus untuk memudahkan menikmatinya bagi para penonton. Jadi, pentas inilah, yang bentuknya sudah agak permanen, menjadi pusat perhatian penonton ketika pertunjukan Opera Batak ini berlangsung.   Waktu pertunjukan Opera Batak ini pun dapat diatur sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Jadi, pertunjukan Opera Batak ini dapat dilaksanakan pada malam hari, tetapi dapat juga dilaksanakan pada siang hari. Hal ini tentunya bergantung atas persiapan yang dilakukan. Umumnya, pertunjukan Opera Batak ini dilaksanakan pada malam hari. Setelah selesai makan malam, sekitar pukul 19.00 mulailah  drama rakyat Opera Batak ini melaksanakan pertunjukannya. Tempat pertunjukan dipilih di sebuah lapangan yang luas serta mudah didatangi dan dicapai para penonton. Pertunjukan Opera Batak ini dapat pula berlangsung sampai jauh malam karena bergantung atas permintaan penonton.  Penyajian Opera Batak ini tidak memerlukan sesuatu yang sangat berlebihan dan bermewah-mewah. Jadi, drama rakyat Opera Batak disajikan dengan cara yang sederhana karena masih bersifat tradisional dan biasanya ditampilkan dengan iringan musik dan bercerita tentang legenda dan mitos yang ada dan berlaku di tengah-tengah masyarakat Toba. Parap elaku Opera Batak  ini umumnya bermain secara improvisasi spontan sesuai dengan kemampuan masing-masing walaupun ada naskah yang ditulis, tetapi belum baku. Dengan demikian, drama rakyat Operasi Batak  ini belum memiliki teknik penampilan yang teratur sebagaimana lazimnya di dalam drama modern seperti teknik penyutradaraan, keteraturan plot, perwatakan, tata pentas, kemampuan berakting, dekorasi, tata lampu, tata hias, tata busana, dan tata suara. Oleh karena itu, pertunjukan ini merupakan drama tradisional. Cerita yang ada dan dialog selalu dilakukan para pemain secara spontan dan timbul begitu saja "secara alamiah". Dengan kata lain, jalan  cerita diungkapkan melalui dialog-dialog dengan  improvisasi secara  spontan sesuai  dengan kemampuan masing-masing  pemain/pelaku cerita. Namun, dialog yang muncul itu sarat dengan nilai pendidikan, nasihat, tata laku, dan pengajaran. Di samping itu, tentunya drama rakyat Opera Batak ini mengandung unsur hiburan juga. Apabila dilihat dari struktur dan ide cerita yang dimainkan, Opera Batak ini terbagi atas beberapa adegan. Urutan adegan itu dimulai dengan pembukaan/ prolog, kemudian disusul dengan penanjakan/ komplikasi, lalu berakhir dengan penutup/epilog. Pertunjukan drama rakyat Opera Batak ini juga mempergunakan nyanyian biasa atau nyanyian rakyat yang diselipkan di sana sini di tengah-tengah pertunjukan sesuai dengan jalan cerita yang akan dipertunjukkan. Nyanyian-nyanyian ini selalu diiringi oleh alat-alat musik Batak seperti tiupan suling/sarune, gong, hacapi, dan seperangkat gendang/gondang. Oleh karena itu, agar pertunjukan Opera Batak ini lebih meriah dan berkesan diperlukan pula para pemusik yang ahli. Nyanyian dan musik yang ada di pertunjukan Opera Batak ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi penontonnya.   Menurut sejarahnya,Opera Batak ini sudah lama dikenal oleh masyarakat Toba. Bahkan, sebutan Opera Batak mungkin sudah dikenal di mana-mana. Hal itu dapat diperkirakan karena masa jayanya, selama lebih kurang lima puluh tahun, tiga puluhan grup opera ini sudah pentas keliling dan bersebar sampai keluar dari daerah Batak Toba. Bahkan, menurut sejarahnya Presiden Soekarno pun sempat mengundang group Opera Batak ini tampil di Istana Negara pada tahun tujuh puluhan sebelum kepopuleran Opera Batak ini kemudian surut pada tahun delapan puluhan. Catatan kesejarahan Opera Batak ini dapat pula dilihat mulai 1920-an dengan kehadiran sosok seorang seniman besar yang bernama Tilhang (Parhasapi) Gultom. Dengan perkataan lain, gerak maju-mundurnya Opera Batak ini tidak dapat dilepaskan sama sekali dari nama Tilhang (Parhasapi) Gultom. Sesudah masa kepopuleran Opera Batak itu berlalu, sebenarnya masih ada lagi peninggalannya yang dapat dilihat. Umpamanya, sisa-sisa Opera Batak ini masih sempat kedengaran melalui rekaman kaset-kaset audio dengan pilihan cerita-ceritanya yang bernada sedih, seperti cerita “Si Tiomina” yang terhalang cintanya atau “Guru Saman” yang membunuh isteri pengurus gereja yang sedang hamil. Kemudian pertunjukan Opera Batak itu pun sedikit demi sedikit hilang sampai dengan kehadiran televisi dan bioskop. Sisa terakhir pertunjukan ini adalah usaha dari berbagai orang yang mencoba membawa sebutan Opera Batak itu dengan gaya “kedai (pakter) tuak” diiringi oleh fragmen musikalnya. Namun, usaha-usaha yang seperti ini tampaknya sangat kurang mendapat sambutan yang positif dari masyarakat Batak Toba khususnya dan juga dari masyarakat lain umumnya.   Perkembangan dan pertunjukan Opera Batak ini sesungguhnya sangat menarik untuk diamati. Ada yang unik di dalam Opera Batak ini. Keunikan itu dapat dilihat secara total dari sudut tertentu. Di Eropa, dramaturgi opera tersusun secara sinkron. Setiap adegan terkait dengan aspek-aspek pendukungnya. Istilah opera dianggap sebagai drama yang dinyanyikan dalam sejumlah babak dan banyak adegan. Sebaliknya, dalam Opera Batak masalah ini dilakukan sangat sederhana dengan dua sampai lima adegan saja karena yang lebih utama ditampilkan adalah permainan musikal dan vokal yang mengiringi pementasan operatersebut. Sedangkan tarian dan drama yang ada dalam Opera Batak itu umumny adalah untuk membentuk variasi dari totalitas yang tidak berkaitan (diakron). Namun, dengan dramaturgi seperti itu Opera Batak sangat berwatak populis dan dapat dijangkau semua umur termasuk anak-anak. Artinya, Opera Batak ini sangat merakyat dan dapat pula dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada para penontonnya.  Ada beberapa persoalan yang muncul dalam sejarah perkembangan Opera Batak ini. Salah satu di antaranya adalah persoalan tentang mengapa Opera Batak itu tidak dapat bertahan sampai sekarang? Pertanyaan ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa dilakukan revitalisasi terhadap Opera Batak tersebut, yang dipahami sebagai usaha membangkitkan potensi-potensi yang terkandung dalam Opera Batak. Namun hal itu juga dapat dilihat dari konteks peranan, terutama para pemain yang potensial untuk memainkan teks dramatik Opera Batak tersebut. Meskipun sebenarnya gaya drama di dalam Opera Batak tidak rumit, namun latihan-latihan drama secara intens sudah sering membuka pemahaman umum atas kerja sama dalam grup atau garapan opera tersebut. Untuk itulah, telah dilaksanakan “Latihan Revitalisasi Opera Batak” selama lima hari di Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara (25–29  Agustus 2002) ditambah satu hari untuk simulasi. Pelatihan ini merupakan sistem dan metode dramatik yang menjadi “titik keberangkatan” tersendiri bagi para peserta sampai menghadirkan sebuah kelompok opera yang diberi nama “Grup Opera Silindung”. Di samping itu, porsi latihan musik, vokal, dan tarian dibenahi pula pada waktu belakangan. Semua usaha ini telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan di dalam usaha melestarikan Opera Batak tersebut. Pementasan cerita dilakukan oleh sebuah grup opera yang bernama “Grup Opera Silindung”. Namun, grup opera ini pada awalnya diberi nama “Grup Opera Batak Bonapasogit”. Nama terakhir ini dianggap terlalu utopis, sementara kehadiran grup baru ini diharapkan bisa menjadi model dari upaya merevitalisasi Opera Batak itu. Anggota grup ini sejak  pelatihan sebanyak 19 orang. Namun, ketika mulai memainkan teks baru yang berjudul “van Asselt”, anggota dari luar pelatihan pun dapat pula diterima dengan sepenuhnya. Jumlah terakhir anggota grup ini tercatat 22 orang yang terdiri atas pelajar, mahasiswa, wiraswasta, tenaga honorer, dan pengrajin tenun. Masalah utama yang muncul di sini adalah hambatan untuk menjadikan para pemain menjadi profesional, terutama dalam masalah pendapatan/penghasilan, yang pasti tidak akan memuaskan para pemain tersebut.  Grup opera ini, sebagai lanjutan dari grup opera sebelumnya, juga mengenal cerita yang sudah pernah dipertunjukkan beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu, ada beberapa cerita yang diberikan untuk dijadikan sebagai bahan pementasan oleh grup opera ini. Namun, grup opera ini memilih cerita “Si Boru Tumbaga” karena dianggap ceritanya masih aktual dan lebih akrab dengan masyarakat Batak Toba daripada cerita yang lainnya. Ketika pertunjukan opera berjudul “Si Boru Tumbaga” dilangsungkan di Gedung Sopo Partungkoan Tarutung, 30 November 2002, seluruh anggota ikut berperan serta dan aktif menyukseskan pertunjukan tersebut. Pertunjukan ini sendiri telah mendapat sambutan yang cukup antusias dari para penonton yang sangat luar biasa. Pementasan Opera Batak ini  dengan mengambil cerita  yang sama telah pula berlangsung untuk kedua kalinya pada 8 Maret 2003 di Deli Room Hotel Danau Toba Internasional, Medan. Pementasan ini cukup meriah karena dihadiri berbagai kalangan seperti oleh para pemuka adat, pemuka agama, tokoh masyarakat, pejabat, mahasiswa, dan pelajar Tapanuli Utara baik yang berada di Medan maupun yang berasal dari Tapanuli Utara, Jakarta, dan berbagai daerah lainnya. Bahkan berbagai pihak telah meminta agar pertunjukan Opera Batakb ini bisa terus berlanjut dengan meningkatkan mutu pertunjukan dan dengan cerita yang bervariasi.  Memang untuk sementara cerita yag dipilih untuk pertunjukan Opera Batak ini adalah cerita yang popular di tengah-tengah masyarakat Batak Toba. Maksudnya adalah agar masyarakat Batak Toba lebih menghayati pementasan cerita tersebut dan kemudian diharapkan dapat mencintai pertunjukan Opera Batak  ini. Untuk itu, cerita yang dipilih untuk kedua pertunjukan itu, di Tarutung dan di Medan, adalah “Si Boru Tumbaga” yang mengisahkan perjuangan perempuan Batak Toba yang tidak mempunyai saudara laki-laki untuk mempertahankan hak dan pedudukannya dalam pemilikan harta warisan, meskipun harus mendapat tantangan yag kuat dari tradisi adat lama. Adapun sinopsis cerita “Si Boru Tumbaga” adalah sebagai berikut ini. Di Kampung Sisuga-Suga, perbatasan Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara, tinggal seseorang yang bernama Ompu Guasa. Beliau “cukup kaya” dengan seorang adiknya yang bernama Ompu Buangga yang boleh dikatakan miskin. Namun, Ompu Guasa merasa masih “kurang kaya” karena tidak mempunyai anak lelaki/putera. Dua anak Ompu Guasa adalah perempuan yang bernama Si Boru Tumbaga dan Si Boru Buntulan. Suatu ketika setelah pulang dari mengerjakan sawah, Si Boru Tumbaga merasakan kekurangan akan adanya saudaranya laki-laki. Lalu Si Boru Tumbaga menyarankan agar ayahnya, Ompu Guasa, menikah lagi karena sudah lama menduda. Untuk menikahkan ayahnya itu, diperlukan bantuan seorang datu yang bernama Datu Partungkot Bosi. Sayangnya, Ompu Guasa menolak menerima saran anaknya itu. Bahkan, Ompu Guasa menolak semua ramalan yang disampaikan oleh Datu Partungkot Bosi. Tidak berapa lama kemudian Ompu Guasa meninggal dunia. Lalu Ompu Buangga mencoba  mengambil  alih harta  kekayaan yang  telah ditinggalkan  Ompu Guasa dengan menyiksa Si Boru Tumbaga dan Si Boru Buntulan. Namun pada akhir cerita, perjuangan dan penghimpunan daya serta tenaga untuk menuntut dan mempertahankan hak dan kedudukan dalam harta warisan itu berhasil dimenangkan oleh Si Boru Tumbaga. Dengan kata lain, kejahatan, berupa ketamakan akan kekayaan yang bukan miliknya, yang tampak pada diri Ompu Buangga akhirnya dapat dikalahkan oleh kebaikan, kejujuran, dan kebenaran yang ada pada diri Si Boru Tumbaga. Suatu tragedi kemanusiaan yang tampaknya selalu muncul, ada, dan terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia di mana pun ia berada.  

4. PENUTUP
Perkembangan seni tradisional di berbagai daerah di Indonesia ini tampaknya kurang menggairahkan dan kurang meyakinkan. Padahal banyak seni tradisional ini yang mengandung nilai moral, nilai etika, dan nilai religius yang sangat baik untuk dijadikan panduan dalam kehidupan ini. Oleh karena itulah, seni tradisional memang pantas untuk digali dan ditampilkan kembali agar semakin memperkaya khasanah ragam budaya di tengah-tengah masyarakat. Hal inilah yang telah dilakukan oleh pementasan Opera Batak sekarang ini di daerah Tapanuli Utara khususnya dan di Sumatera Utara umumnya. Usaha seperti ini dapat menjadi pemerkuat ketahanan budaya, semula ketahanan budaya etnik yang nantinya menjadi ketahanan budaya bangsa, menghadapi munculnya era globalisasi, era informasi, dan maraknya budaya impor di kalangan generasi muda. Hal ini dapat terwujud karena pesan pada masyarakat dapat disampaikan lewat Opera Batak tersebut dengan berkisah tentang masa lampau maupun bercerita tentang kondisi masyarakat sekarang ini yang berdasarkan kepada fakta yang aktual. Jadi, untuk memperkuat ketahanan budaya bangsa, termasuk di dalamnya ketahanan budaya etnik, sudah tentu usaha-usaha yang seperti ini harus dilakukan dengan terencana, berkesinambungan, dan terus-menerus. 
Opera Batak ini telah pula menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat Batak Toba untuk menyampaikan pesan atau amanat di samping juga sebagai hiburan. Oleh karena itu, Opera Batak masih memiliki relevansi untuk dipergunakan sebagai alat sosialisasi penyampaian sebuah pesan dan layanan. Hanya saja perlu dikemas dengan lebih baik sesuai dengan perkembangan masyarakat Tapanuli Utara itu sendiri. Di sinilah usaha revitalisasi Opera Batak tersebut memegang peranan penting dan dapat diarahkan kepada sesuatu yang dianggap positif dan berguna bagi kemajuan masyarakat Tapanuli Utara pada masa kini dan juga pada masa nanti. Kemajuan ini akhirnya akan memberikan sumbangan yang positif pula bagi kemajuan bangsa Indonesia nantinya. Tentu saja harapan yang seperti barulah diperoleh kalau ada usaha yang bersungguh-sungguh dari berbagai pihak dalam melestarikan dan merevitalisasi Opera Batak ini pada masa mendatang.  
DAFTAR PUSTAKA
 Bandem, I Made dan Sal Murgianto. 2000.
Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.  Basyarsyah II, Tuanku Luckman Sinar dan Wan Syaifuddin, M. A. 2002.
Kebudayaan Melayu Sumatera Timur. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.  Brahim. 1968.
Drama dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.  Muhammda, TWH. 1992.
Sejarah Teater dan Film di Sumatera Utara. Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI.  Qamar, A. R. 2003.
Sepintas Drama dan Pementasannya. Medan.  Sumardjo, Jakob. 1992.
Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.  Tarigan, Henry Guntur. 1985.
Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.  Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...