Penulis: Senovian Butarbutar, S.Sn
Pendahuluan
Gendang[1] Guro-guro Aron merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Karo yang berasal dari dataran tinggi tanah Karo, Sumatera Utara, yang sering diadakan saat pesta-pesta adat dan acara syukuran seusai panen. Guro-guro aron berasal dari dua kata, yaitu: guro-guro dan aron. Guro-guro berarti hiburan atau pesta, sedangkan aron[2] berarti muda-mudi. Jadi guro-guro aron adalah suatu pesta muda-mudi yang dilaksanakan berdasarkan adat dan kebudayaan Karo.
Gendang guro-guro aron paling sering dilaksanakan pada waktu merdang merdem atau kerja tahun. Merdang merdem adalah sebuah perayaan ucapan syukur kepada Sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Kegiatan yang melibatkan seluruh warga kampung ini biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Pada masyarakat suku Karo di merdang merdem merupakan sebuah kegiatan rutin yang biasannya dilaksanakan setiap tahun. Gendang guro-guro aron juga digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa (menurut kepercayaan masing-masing) atas hasil panen yang berlimpah ataupun juga perayaan atas kegembiraan yang dirasakan karena mendapatkan rezeki.
Gendang guro-guro aron paling sering dilaksanakan pada waktu merdang merdem atau kerja tahun. Merdang merdem adalah sebuah perayaan ucapan syukur kepada Sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Kegiatan yang melibatkan seluruh warga kampung ini biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Pada masyarakat suku Karo di merdang merdem merupakan sebuah kegiatan rutin yang biasannya dilaksanakan setiap tahun. Gendang guro-guro aron juga digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa (menurut kepercayaan masing-masing) atas hasil panen yang berlimpah ataupun juga perayaan atas kegembiraan yang dirasakan karena mendapatkan rezeki.
Saat gendang guro-guro aron masyarakat Karo bernyanyi dan menari bersukaria, yang biasanya dilakukan sepanjang malam, dibawah cahaya bulan purnama. Gendang guro-guro aron selalu dilaksanakan di jambur. Jambur merupakan sebuah rumah besar atau balai yang terdapat hampir di setiap desa di wilayah kebudayaan Karo. Jambur ini berfungsi sebagai tempat pusat kegiatan masyarakat Karo seperti rapat desa, pesta adat dan hal-hal lain yang dilaksanakan bersama oleh warga desa tersebut. Di tempat lain diluar wilayah kebudayaan Karo, mungkin karena tidak semua tempat terdapat jambur maka pesta gendang guro-guro aron biasa dilakukan di wisma, lapangan atau tempat lain.
Pada setiap pesta gendang guro-guro aron selalu terdapat penyanyi yang terdiri dari satu orang pria dan wanita yang disebut perkolong-kolong. Perkolong-kolong ini akan menyanyi mengiringi aron (muda-mudi) menari. Menurut cerita, dulu mereka disebut dengan nama permangga-mangga, yang menyanyi dari satu desa ke desa lainnya. Perkolong-kolong ini selalu mengenakan pakaian adat Karo dan biasanya memiliki suara yang enak didengar serta pintar saling beradu pantun atau "ejekan" dalam konteks halus dan membuat cerita-cerita yang mengundang tawa penonton atau peserta guro-guro aron yang hadir.
Lagu pertama biasanya adalah lagu "Pemasu-masun" dengan lirik mendoakan agar segenap masyarakat yang ada pada acara tersebut diberikan kelimpahan rahmat, rezeki, kesehatan dan umur panjang serta kedamaian dari Yang Maha Kuasa. Sembari biduan bernyanyi, semua panitia dan tamu undangan diajak menari diatas panggung. Seusai lagu pembuka selanjutnya biduan menyanyikan lagu-lagu permintaan yang diikuti dengan tarian dari masing-masing pam (marga) yang hadir. Para penari harus berpasangan dengan istrinya atau jika belum menikah berpasangan dengan impal[3]-nya. Kesempatan ini biasanya digunakan muda-mudi untuk berkenalan atau lebih mengintensifkan perkenalan yang telah dijalin. Tidak jarang setelah pesta ini banyak pemuda-pemudi yang akhirnya menikah. Setelah semua marga[4], panitia, petugas keamanan dan kelompok-kelompok lain yang datang telah selesai mendapat giliran menari, maka kedua biduan kemudian akan diadu bernyanyi dengan saling berbalas pantun atau ejekan sambil mengerahkan kemampuan menari yang dimiliki.
Pada setiap gendang guro-guro aron selalu di iringi oleh sekelompok ansambel musik yang disebut dengan gendang[5]. Adapun instrumen gendang yang dipakai adalah sarune, gendang singindungi dan gendang singanaki, gung dan penganak. Tampak jelas bahwa modernisasi telah begitu banyak mempengaruhi musik tradisi, khususnya musik Karo dewasa ini. Akibat dari modernisasi dan perubahan kebudayan yang sangat pesat dalam masyarakat Karo ini, sekarang gendang guro-guro aron ini secara keseluruhan tidak lagi diringi oleh ansambel gendang, akan tetapi diganti dengan munculnya “gendang keyboard” yang kerap juga dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional baik untuk acara ritual kematian maupun acara-acara adat lainnya. Gendang keyboard perpaduan antara instrumen keyboard dan beberapa instrumen dari gendang, seperti kulcapi dan sarune. Walaupun keyboard bukan merupakan alat musik asli masyarakat Karo, namun masyarakat ternyata sangat antusias dengan adanya alat musik ini. Permainan keyboard ternyata telah memunculkan sebuah suasana baru dalam pelaksanaan gendang guro-guro aron. Munculnya kolaborasi musik hasil perpaduan antara keyboard dengan gendang menambah suasana meriah dan memacu semangat para penari dan perkolong-kolong untuk berpesta guro-guro aron. Penggunaan keyboard dalam gendang guro-guro aron ataupun pesta-pesta adat masyarakat Karo telah menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik, karena hampir di setiap kegiatan masyarakat Karo yang dulunya menggunakan musik gendang sudah digantikan oleh gendang keyboard atau bahkan hanya keyboard saja.
Gendang guro-guro aron sejak dahulu juga sering dimanfaatkan oleh para penguasa masyarakat Karo untuk menyampaikan pesan-pesan, biasanya pesan perdamaian dan semangat kerja kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya lagu-lagu Karo yang tercipta dengan nada yang penuh semangat mengajak masya-rakat bekerja keras. Pada masa revolusi gendang guro-guro aron ini dijadikan juga sebagai penggelora semangat perjuangan kemerdekaan. Hal ini tercermin dari lagu-lagu perjuangan yang bernada heroik. Dalam perkembangan selanjutnya pesta gendang guro-guro aron tidak lagi dilakukan hanya pada saat kerja tahun saja, akan tetapi pada kesempatan-kesempatan lain seperti tahun baru, peringatan proklamasi Republik Indonesia. Pada saat ini, kesenian ini dimanfaatkan oleh partai politik di Indonesia sebagai media untuk kampanye politik dan kampanye pemilihan kepala daerah. Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan cara orasi pada saat jeda lagu, penyampaian jargon dan himbauan oleh pembawa acara dan perkolong- kolong serta melalui lagu-lagu yang dinyanyikan.
Dahulu kala pelaksanaan gendang guro-guro aron dilakukan selama 7 hari penuh. Adapun urutan pelaksanaan dan kegiatan yang dilakukan adalah[6]:
Hari pertama, Cikor-kor.
Merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah yang terletak dibawah pepohonan. Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.
Hari kedua, Cikurung
Seperti halnya pada hari pertama, hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.
Hari ketiga, Ndurung
Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas dan belut.
Hari keempat, Mantem
Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak. Pada hari itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.
Hari kelima, Matana
Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta. Pada saat inilha gendang guro-guro aron dilaksanakan, dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan. Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.
Hari keenam, Nimpa
Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan. Tidak lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa. Di beberapa tempat di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires atau lemang. Cimpa dan lemang biasanya dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.
Hari ketujuh, Rebu
Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung.
Dalam pelaksanaan gendang guro-guro aron ini terdapat juga pembagian tugas dan aturan-aturan yang harus dipenuhi dengan tujuan untuk mengatur tatanan posisi sesuai dengan jabatan/kedudukan masing-masing. Adapun tugas-tugas yang dibagi yaitu:
Pengulu Aron/Kemberahen aron.
Biasanya gendang guro-guro aron dipimpin oleh pengulu aron dan seorang kemberahen aron. Pengulu aron biasanya dipilih dari pemuda keturunan bangsa tanah (si mantek kuta), sementara kemberahen aron dipilih dari pemudi kuta anak kalimbubu kuta.
Si mantek guro-guro aron.
Yang disebut si mantek adalah pemuda atau pemudi dari satu dua yang ikut sebagai peserta/pelaksana guro-guro aron tersebut. Si mantek guro-guro aron berkewajiban membayar biaya yang disebut adangen, sebesar yang telah ditentukan dalam musyawarah.
Pengelompokan aron.
Aron dikelompok menurut beru-nya masing-masing, misalnya aron beru Ginting, aron beru Karo, aron beru Perangin-angin, aron beru Seambiring, aron beru Tarigan. Si pemuda menyesuaikan tempat duduknya dengan kelompok pemudi itu, misalnya bere-bere Karo di aron beru Karo, bere-bere Sembiring di aron beru Sembiring, bere-bere Ginting di aron beru Ginting dan bere-bere Tarigan di aron beru Tarigan. Ini untuk menjaga aturan adat, agar pasangan yang tidak boleh berkawin tidak boleh duduk dan menari bersama. Aron dipimpin bapa /nande aron.
Kundulen guro-guro aron.
Adalah tempat duduk guro-guro ditempatkan pada salah satu rumah adat. Ini untuk menjaga sesuatu hal pelaksanaan guro-guro tidak dapat dilaksanakan di lapangan (kesain). Untuk itu pengulu aron dan kemberahen aron datang minta izin kepada pemilik rumah.
Aturan Menari.
Dalam praktik untuk meramaikan pembukaan guro-guro aron, ada kalanya perkolong-kolong diadu berpantun sambil bernyanyi. Atau ada kalanya diadakan pencak silat (ndikkar), dan setelah orang berkumpul guro-guro aron pun dimulai menurut arutan adat karo.
Gendang Adat
Landek Permerga-merga
Landek Aron
Landek Pekuta-kutaken
Tepuk dan ndehile.
Untuk mengakhiri guro-guro aron biasanya juga diakhiri dengan acara menari menurut adat, malahan dalam acara penutupan ini si erjabaten (pemusik) pun diberi kesempatan untuk menari.
Teori – teori fungsionalisme
Untuk mengkaji bagaimana gendang guro-guro aron dari segi fungsinya pada masyarakat karo, penulis menggunakan teori-teori fungsionalisme yang lazim digunakan dalam penelitian seni/kebudayaan di Indonesia. Melihat bahwa kesenian meruapakan salah satu unsur kebu-dayaan (Koentjaraningrat, 1990:204), kesenian juga mempunyai fungsi terhadap keberlang- sungan masyarakat pendukungnya. Salah satu teori yang sering digunakan dalam mengkaji musik adalah 10 fungsi musik yang diajukan oleh Merriam (1964:219-222). Fungsi tersebut adalah penghayatan estetis, pengungkapan emosional, hiburan, komunikasi, fungsi perlambangan, reaksi jasmani, berkaitan dengan norma-norma sosial, pengesahan lembaga sosial, keseinambungan kebudayaan, pengintegrasian masyarakat.
Salah satu pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi adalah Arthur Reginald Radcliffe-Brown. Ia juga menyatakan sebuah teori fungsi yang mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia yang menyatakan bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justru timbul untuk memper-tahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown 1952). Dalam hubungan-nya dengan gendang guro-guro aron adalah keukutsertaan masyarakat dalam gendang guro-guro aron telah membentuk sebuah jaringan-jaringan sosial dan pranata-pranata sosial antara individu yang satu dengan individu lain, dan mempertahankan struktur sosial yang sudah terbentuk.
Secara umum penulis juga menggunakan teori fungsi komunikasi untuk mengkaji bagaimana guro-guro aron pada masyarakat karo. Ada kategori yang diajukan dari teori fungsi yaitu:
Fungsi memberitahu
Fungsi untuk memberi tahu artinya adalah melalui komunikasi berbagai konsep atau gagasan diberitahukan kepada orang lain (penerima komunikasi), dan penerima ini menerimanya, yang kemudian dampaknya ia tahu tentang gagasan yang dikomunikasikan tersebut. Akhirya isi komunikasi itu akan direspons oleh penerima, boleh jadi dalam bentuk perilaku, balasan, dan lainnya. Pemberitahuan ini sangat penting dalam konteks sosial kemasyarakatan.
Fungsi mendidik
Artinya adalah bahwa komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang lainnya. Ilmu pengetahuan dipindahkan dari sesorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Berkat terjadinya komunikasi maka kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhirnya masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan.
Fungsi memujuk khalayak mengubah pandangan
Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau memujuk khlayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi, pandangan seseorang atau masyarakat dapat diubah, dari satu pandangan ke pandangan lain. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih buruk menurut stadar norma-norma sosial.
Untuk menghibur orang lain.
Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang lain. Maksudnya adalah bahwa melalui komunikasi seorang penyampai atau sumber komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi, yang memang dalam konteks sosial diperlukan. Fungsi komunikasi sebagai sarana hiburan ini akan dapat membantu seseorang atau sekumpulan orang terhibur dari beban sosial budaya yang dialaminya. Hiburan ini dapat berupa rasa simpati kepada penerima. Contohnya melalui kegiatan bernyanyi, bermain musik, melawak, dan lain-lainnya.
Adapun fungsi guro-guro aron itu pada masyarakat Karo adalah sebagai :
1. Latihan Kepemimpinan (Persiapan Suksesi).
Maksudnya, bahwa dalam guro-guro aron, muda-mudi dilatih memimpin, mengatur, mengurus pesta tersebut. Untuk itu ada yang bertugas sebagai pengulu aron, bapa aron atau nande aron. mereka dengan mengikuti guro-guro aron ini dipersiapkan sebagai pemimpin desa (kuta) dikemudian hari.
2. Belajar Adat Karo.
Dalam melaksanakan guro-guro aron, muda-mudi juga belajar tentang adat Karo. Misalnya bagaimana cara ertutur, mana yang boleh teman menari, mana yang boleh menurut adat atau mana yang tidak boleh dilakukan dan lain-lain.
3. Hiburan.
Guro-guro aron juga berfungsi sebagai alat hiburan bagi peserta dan penduduk kampung. Malahan pada waktu itu penduduk kampung, dan tetangga kampung lain juga biasanya hadir.
4. Metik (tata rias).
Dengan diselenggarakannya guro-guro aron, maka muda-mudi, yakni anak perana dan singuda-nguda belajar tata rias (metik) guna mempercantik diri. Mereka belajar melulur diri, membuat tudung atau bulang-bulang dan lain sebagainya.
5. Belajar Etika.
Dalam melaksanakan guro-guro aron ini, anak perana dan singuda-nguda juga belajar etika atau tata krama pergaulan hidup dengan sesamanya.
6. Arena cari Jodoh.
Guro-guro aron juga dimaksudkan sebagai arena cari jodoh bagi anak perana dan singuda-nguda. Oleh karena itu adakalanya pelaksanaannya didorong oleh orang-orang tua, karena melihat banyak perawan tua dan lajang tua di kampungnya.
[1] Pengertian Gendang pada masyarakat karo mempunyai makna jamak, dalam tulisan ini gendang artinya upacara/pesta
[2] Aron bisa juga mempunyai pengertian kerja/pekerjaan
[3] Impal adalah sebutan bagi calon istri/suami yag bbukan berasal dari 1 kelompok marga yang sama, bisa juga sebagai sebutan bagi anak perempuan dari saudara laki-laki ibu yang melahirkan kita dan sebaliknya
[4] Pada masyarakat Karo ada 5 kelompok marga
[5] Gendang dalam hal ini mempunyai pengertian ansambel musik pada
[6] Berdasarkan tulisan pada http://karoweb.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar