Sabtu, 19 Mei 2012

Ritual Karo Orang Tengger (Jawa Timur)



Tengger sering hanya dikenal dengan upacara Kasodo dan Gunung Bromonya. Padahal ada pula upacara Karo yang tak kalah penting bagi masyarakatTengger. Tak main-main, perhelatan tradisional itu berlangsung hingga 15 hari. Dalam upacara Karo, begitu tarian remo dan alunan gending berhenti, serentak warga desa berhamburan, saling desak dan dorong mendekati sebuah tumpeng besar. Sesaat alunan gendingdigantikan oleh suara celoteh, tawa, teriakan bersahutan saat berebut

tumpeng besar itu, yang mereka sebut Tumpeng Gede.Itulah gambaran sekilas salah satu bagian dari ritual Karo yang dilakukan masyarakat Tenggerdi Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa Ngadas itu satu-satunya desa di kawasan Tengger wilayah Kabupaten Malang yang paling dekat dengan lautan pasir Gunung Bromo. Untuk diketahui, secara administratif daerah Tengger masuk ke dalam empat wilayah kabupaten (Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang). Dari Kota Apel jaraknya sekitar 30 km arah timur laut. Jalan termudah untuk mencapai desa itu dengan naik mobil pick-up melalui Kecamatan Tumpang. Hampir 100% penduduk Desa Ngadas yang dihuni sekitar 1.639 jiwa itu orang Tengger asli. Upacara Karo merupakan bagian ritual dari agama Buddha Jawasanyatha yang dipeluk oleh mayoritas warga Ngadas.

Upacara Karo yang dilaksanakan pada bulan kedua menurut kalender orang Tengger itu dimaksudkan untuk memanjatkan puji syukur kepada Sang Pencipta atas berkah-Nya sepanjang tahun. Ritual yang juga mereka sebut riyaya (merayakan hari raya keagamaan) itu pun menjadi sarana penyucian diri dan penghormatan kepada lelulur.

Layaknya hari raya lainnya, upacara Karo disambut dengan suka cita. Warga masyarakat saling mengunjungi, sambil tak lupa mengenakan baju baru dan menyediakan makanan yang berlimpah.
Beberapa versi asal-usul upacara Karo beredar di kalangan mereka. Versi Sudja’i, Kepala Dukun Tengger, bagi orang Tengger Probolinggo ritual Karo untuk memperingati perdamaian antara wong loro atau karo (dua makhluk), yaitu laki-laki dan perempuan. Konon, keduanya dulu selalu berperang, tetapi tak ada yang kalah atau menang. Dalam peperangan itu banyak korban jatuh. Demi menghindari jatuhnya lebih banyak korban, kedua makhluk itu lalu bersepakat untuk berdamai. Versi Mbah Slamet dari Desa Ngadas lain lagi. Karo berasal dari sebuah legenda yang berkisah tentang seorang abdi dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW bernama Setya dan abdi dari Ajisaka bernama Setuhu. Akibat salah paham, Setya dan Setuhu berselisih dan bertarung sampai gugur, tak ada yang kalah atau menang. Melihat hal itu Ajisaka lalu memerintahkan para pengikutnya untuk mengadakan upacara Karo sebagai peringatan.



Mengundang arwah

Upacara Karo dipimpin seorang dukun. Bukan dalam arti orang yang mempunyai kekuatan magis atau sihir, melainkan pemimpin semua kegiatan ritual adat, yang memiliki kemampuan menjembatani antara dunia makrokosmos dan mikrokosmos. Karena itu, dukun Tengger harus mampu menguasai semua mantra upacara adat yang telah diturunkan oleh para leluhurnya.

Rangkaian upacara Karo yang berlangsung selama 15 hari dimulai pada hari ketujuh di bulan Karo (kedua). Desa Ngadas yang biasanya sunyi, selama 15 hari itu tampak lebih sibuk dan ramai.

Ritual pertama berupa selamatan ping pitu (selamatan tujuh kali tujuh hari). Upacara ini bertujuan mengundang roh leluhur setiap keluarga ke rumah masing-masing. Arwah yang datang itu lalu “dijamu” makanan dan minuman.

Roh leluhur itu diundang agar mau merestui dan mem-berkati kehidupan rumah tangga mereka. Selama roh leluhur “berada di rumah”, mereka berusaha menyenangkannya. Pantang bagi mereka untuk membuat arwah – arwah itu murka!

Setelah selamatan dimulailah acara prepekan Karo. Acara itu dimeriahkan dengan tari Tayub (untuk Tengger Probolinggo bukan tari Tayub, tapi tari Sodoran yang dimainkan pria). Biasanya warga Desa Ngadas mendatangkan penari Tayub dari daerah bawah seperti dari Tumpang atau sekitarnya.

Sore harinya sebelum acara Tayub, dengan pakaian dan alat musik seadanya, para penari berjoget untuk menghormati arwah di beberapa tempat yang dianggap penting dan keramat. Tempat itu misalnya pedhanyangan (tempat roh penjaga desa), punden desa (makam leluhur desa), dan sumber air (menurut kepercayaan sumber air juga dijaga roh). Tujuannya, agar tidak kuwalat karena arwah leluhur merasa dilangkahi. Kalau mereka sampai marah, dikhawatirkan desa akan tertimpa malapetaka.

Sekitar pukul 19.00 warga berkunjung ke rumah kepala desa. Kegiatan berkunjung yang dilakukan terutama oleh para tetua adat, tokoh masyarakat, pamong desa, dan tamu undangan ini disebut acara kauman. Mereka dijamu makan dan minum. Sementara itu di luar terdengar alunan gending, pertanda tari Tayub akan segera dimulai, yang dibuka dengan tari remo.

Tidak lama kemudian kepala desa dan istrinya memberikan tembelan (uang) yang ditaruh di atas nampan kepada tandak (penari) dan seorang niyaga (penabuh gamelan). Hal itu diikuti para tokoh dan pamong desa. Usai acara resmi, berlangsunglah acara bebas. Siapa saja boleh menari Tayub, yang diteruskan dengan pesta makan dan minum. Untuk menghindari mabuk-mabukan, hanya disediakan minuman ringan.

Esok harinya para warga berkunjung ke rumah kepala desa sambil membawa tumpeng yang akan disandingkan dengan Tumpeng Gede. Setelah semua berkumpul, alunan gending kembali diperdengarkan, sambil menunggu persiapan dukun yang akan memantrai tumpeng.

Warga menunggu dengan sabar saat dukun melafalkan mantra. Tari remo menyudahi acara pembacaan mantra. Begitu tarian itu berhenti, warga desa Ngadas langsung berebut Tumpeng Gede. Membawa pulang bagian tumpeng ini menjadi keharusan, karena di rumah masing-masing makanan itu akan dipersembahkan pada roh leluhur mereka yang, menurut kepercayaan, sedang menunggu dengan setia. Potongan tumpeng itu boleh dikata sebagai oleh-oleh yang wajib dibawa pulang agar tidak kuwalat, keluarga tetap mendapat restu, dan selamat hingga tahun berikutnya.

Sementara warga saling berebut Tumpeng Gede, dukun dan pembantunya bersiap-siap melaksanakan upacara Nundung Roh. Bukan mengusir, tapi memulangkan roh leluhur kembali ke alamnya. Sebelum “pulang”, roh leluhur masih dijamu makanan dan minuman.

Sambil membawa prapen atau tungku api dan air suci, dukun melakukan perjalanan keliling desa mengunjungi setiap rumah warga Desa Ngadas. Ritual itu memakan waktu paling tidak tiga hari. Selama upacara berlangsung, setiap rumah menyediakan sesaji berupa tumpeng-tumpeng kecil dilengkapi dengan ingkung (ayam panggang), jajan pasar khas Tengger, dan gedang ayu (pisang). Setelah sesaji selesai dimantrai oleh dukun, warga saling berkirim makanan.



Boleh berjudi

Sadranan menjadi bagian terakhir ritual Karo, yang berlangsung pada hari ke-15. Upacara ini dimaksudkan untuk mendoakan arwah leluhur dan keluarganya yang sudah meninggal. Suasana desa bertambah meriah, karena pada saat itu banyak atraksi yang digelar oleh warga Ngadas.

Sekitar pukul 07.00 para ibu dan remaja putri mulai berdatangan ke rumah kepala desa sambil membawa berkatan, berupa nasi plus lauk-pauk dan jajan pasar untuk melaksanakan sedekah pangonan. Maksud berkatan itu tak lain untuk memberikan penghormatan dan sedekah kepada kepala desa sebagai orang yang empunya hajat.

Berkatan itu dikumpulkan sebelum dimantrai oleh dukun. Saat berkatan diganti wadahnya, kembali mereka berebut, adu cepat mengganti wadah. Dari rumah kepala desa mereka bergegas pulang untuk mempersiapkan sesaji yang harus segera dibawa ke makam desa. Pada kesempatan itu mereka berdandan secantik mungkin, mengenakan baju bagus atau baru.

Sekitar pukul 08.00 warga berbondong-bondong ke makam desa sambil membawa sesaji berupa nasi, lauk-pauk, dan kue-kue. Sesaji digelar di makam leluhur masing-masing. Acara dimulai dengan sambutan Kepala Desa Ngadas, dilanjutkan dengan doa untuk para leluhur yang dipimpin dukun. Usai berdoa, warga menyantap hidangan bersama-sama.

Sambil makan bersama, mereka menikmati atraksi kesenian jaran joged atau kuda tari yang dihias. Diiringi bunyi gamelan kempul dan gendang, kuda itu berjoget, melompat-lompat, dan berlari-lari kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sementara itu kaum muda menyalakan petasan. Pada hari itu anak sekolah dan para pekerja libur.

Setelah acara itu selesai, dukun bersama keluarga pendiri desa menuju makam punden desa untuk melakukan upacara doa. Sementara itu buat warga masih ada acara tambahan seperti kuda lumping, atraksi ujung-ujungan, dll. Khusus saat itu, warga diizinkan berjudi sebagai hiburan. Orang tua hingga anak-anak boleh ikut. Orang dewasa pria memilih berjudi menggunakan kartu atau dadu. Besarnya taruhan bervariasi, tetapi tak boleh lebih dari Rp 5.000,-. Sedangkan anak-anak dan wanita bermain dadu dan gejikan.

Gejikan dilakukan dengan melemparkan uang logam ke dalam lubang kecil yang dibuat di permukaan tanah. Siapa yang berhasil memasukkan uangnya ke dalam lubang dialah yang menang dan berhak memiliki uang logam yang tidak masuk ke lubang. Pesertanya maksimal lima orang. Semua permainan judi itu hanya boleh berlangsung sampai menjelang malam. Siapa yang melanggar, bakal kena sanksi.

Lain lagi dengan permainan ujung-ujungan. Diiringi bunyi gamelan, permainan dilakukan oleh dua orang secara sukarela. Masing-masing dipersenjatai sebatang tongkat rotan sebagai perisai dan pemukul. Sebelum permainan dimulai, pemain melakukan tawar-menawar tentang jumlah pukulan yang akan dilakukan, biasanya sih tiga kali. Masing-masing pemain berhak memukul tiga kali, sementara lawannya berusaha menangkis. Peserta yang paling banyak kena pukul dan tidak bisa menangkis dinyatakan kalah. Atraksi khusus untuk orang Tengger itu menggambarkan pertarungan antara Setya dan Setuhu.

Setelah 15 hari penuh acara berhasil diselesaikan, warga diharapkan pulang dengan perasaan puas dan gembira. Maka Desa Ngadas kembali ke suasana sunyi. Esok hari ladang telah menanti untuk dikerjakan kembali. Semua orang siap menyongsong hari baik yang telah mendapat restu dari para leluhur.

sumber foto: http://archopodho.files.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...