Sabtu, 19 Mei 2012

Ritual Manogu Losung-Manapu-napu Dalam Masyarakat Simalungun

Pengaruh jaman modern ini banyak membawa efek dan akses bagi kehidupan masyarakat. Tak terkecuali masyarakat sipil umum ataupun masyarakat suku di berbagai tempat. Hal ini juga terimbas terhadap kehidupan masyarakat Batak khususnya masyarakat Batak Simalungun. Dalam hal ini banyak norma dan tata krama kehidupan masyarakat Simalungun yang dahulu dihidupi dan dihayati dengan baik oleh anggota masyarakatnya, sekarang sudah ditinggalkan bahkan sudah terlupakan dari khasanah kebudayaan masyarakat.
Karena itu kita diajak untuk mencermati setiap khasanah kebudayaan disekitar kita terutama masyarakat Simalungun, yang masih bisa dikembangkan dan diaktualisasikan pada kehidupan sekarang ini. Pada tulisan ini akan dijelaskan ritual dan rekatualisasi manogu losung-marsapu -sapu, dalam kehidupan masyarakat Simalungun dewasa ini.

Pada jaman dan setiap desa di Simalungun, mulai dari kota sampai desa mempunyai sebuah Losung (Lupang) yang disebut losung huta, yaitu sebuah potongan batang pohon berdiameter besar dengan lima hingga tujuh lubang berbentuk mangkuk yang dipahat, sehingga membentuk lubang seperti kerucut yang dipakai untuk menumbuk beras menjadi tepung beras.
Untuk menumbuk beras tersebut dibutuhkan stamina fisik yang prima. Tugas untuk menumbuk beras beras khususnya para anak perempuan dan wanitamuda yang telah menikah. Di desa biasanya dilakukan pada saat malam hari setelah menyelesaikan pekerjaan disawah sewaktu cuaca cerah dan tidak pada saat bulan purnama. Sebagai kegiatan bersama para perempuan menggunakan kegiatan ini sebagai sarana untuk berbagi gosip dan bersosisalisasi satu dengan yang lain. Losung ini akan rusak dan harus diganti dengan yang baru dari waktu ke waktu. Pada saat itulah dialngsungkan serangkaian kegiatan yang melibatkan seluruh warga desa, tetapi sebenarnya lebih tertuju pada kaum muda.
Kegiatan pembuatan losung ini, dan peresmian penggunaannya terbagi dalam empat upacaraterpisah, yaitu
1. Memotong kayu (menebang pohon)
2. Manogu losung (menarik potongan kayu dari hutan ke kampung)
3. Martuhang losung (pembuatan lumpang)
4. Marsapu-sapu (menyeka, melumuri atau menyapu)
Dua upacara yang menarik disini adalah manogu losung dan marsapu-sapu, karena penggunaan musiknya.

Manogu Losung
Setelah batang pohon dipotong dan dipangkas ranting-rantingnya, batang pohon kemudian dibawa dari hutan menuju kampung. Kemudian para pekerja memahat mangkuk-mangkuk cekungan pada seluruh bagian tepinya. Karena batang pohon yang digunakan untuk membuat losung mencapai diameter 1 meter maka dibutuhkan tenaga yangbesar untuk mengangkatnya dari hutan ke kampung. Anak-anak dan laki-laki muda didesa dihumpun dan ditugaskan menyeret gelondongan kayu tersebut dengan bantuan tali rotan.namun masyarakat Simalungun memilii suatu pemecahan yang cukup baik untuk mengatasi kelelakan itu yaitu dengan bantuan seorang turahan.
Turahan adalah seorang anak perempuan yang belum menikah dan giginya belum dipotong yang memiliki kemahiran istimewa sebagai penari, penyair dan sekaligus pelawak. Anak perempuan muda ini didandani dengan kostum yang aneh sambil membawakan untaian dedaunan. Tugasnya ialah menggugah dan menyemangati para penarik gelondong kayu tadi dengan membawakan syair-syair jenaka, lelucon sambil menari mengitari dan menaiki gelondong kayu tersebut dipindahkan para penarik kayu tadi. Anak perempuan muda ini sangat terampil sehingga berkat tari-tarian, syair dan leucon yang ia bawakan, mereka dapat nelupakan kelelahan. Dalam melakukan tugasnya turahan dibantu oleh sekelompok ansambel gonrang yang terdiri dari sebuah gong, sebuah momongan, dan dua buah alat tabuh gonrang sidua-dua. Ansambel ini membawakan lagu dengan meminjam iram alagu Huda-huda untuk mengiringi turahan dan para warga sewaktu pergerakan mereka melambat dan kemudian berganti kembali membawakan Rinrin Turahan. Suatu alunan irama dengan penekanan pada setiap ketukan keempat dengan tempo cepat saat gerak pindah gelondong kayu mulai menjadi lebih cepat.

Martuhan losung
Sesuai dengan jarak tempuh serta jumlah rintangan yang harus dihadapi, gelondong kayu dapat diberikan kepada tukang dalam waktu dua atau tiga hari. Namun sebelum pekerjaan dapat dimulai, sesajen harus diberikan terlebih dahulu kepada gelondong kayu, yang bertujuan untuk mendapat persetujuan dari roh yang mendiami gelondong kayu tersebut agar diperbolehkan dibuat menjadi lesung.
Acara sesajen ini kemudian dilanjutkan dengan acara makan yang telah dipersiapkan secara khusus bagi para tukang yang disajikan dengan daun nipa dan tembakau sebagai rokok. Dalam waktu kira-kira seminggu lamanya, pekerjaan ini dapat diselesaikan dengan dan losung yang baru dapat dipergunakan. Para tukang kemudian melaporkan kepada datu dan bersama raja kemudian ditentukanlah hari untuk melangsungkan upacara marsapu-sapu. Selanjutnya pengumuman mengenai waktu upacara marsapu-sapu diberitakan kepada setiap rumah diseluruh penjuru desa sambil memberitahukan agar para anak perempuan merendam beras sebagai persiapan untuk ditumbuk menjadi tepung beras pada losung yang baru itu.

Marsapu-sapu
Tepat setelahmatahari terbenam pada hari yang ditentukan, semua anak laki-laki danperempuan serta kaum muda-mudi warga desa tidak diperkenankan untuk berdiam diri dirumah. Mereka diwajibkan berkumpul dipekarangan desa sambil berdiri mengitari losung yang kini siap untuk digunakan dengan bentuknya yang menyerupai rumah dengan atap dan undakan setinggi satu meter atau lebih dari permukaan tanah. Ansambel musik gonrang disiagakan dan sejumlah obor diletakkan di sekeliling desa untuk menerangi mereka di kegelapan malam itu. Para pasangan muda suami-istri, para orang tua dan anak-anak kecil serta para kakek-nenek juga diwajibkan untuk hadir dipekarangan desa dan ikut berkumpul mengelilingi losung yangbaru tersebut. Dari sana mereka dapat mengikuti acara pada malam hari itu sambil mengawasi kegiatan kaum muda yang sesungguhnya merupakan subyek acara pada malam itu.
Setelah datu memberikan sesajian kepda losung yang baru itu, anak-anak perempuan desa diberikan isyarat untu memulai mendaki tangga menuju rumah naungan losung serta meletakkan beras yang telah mereka rendam sebelumnya kedalam satu mangkuk cekungan pada losung dan mulai menumbuk beras tersebut untuk dijadikan tepung basah. Sementara itu berlangsung, para anak lelaki desa mulai menari dengan diiringi musik yang dibawakan oleh ansambel musik gonrang sambil berteriak-teriak riuh rendah. Musik dibawakan dengan gaya ringan dan gegap gempita dengan temposedang hingga cepat dan berbagai macam gual seperti Ija Juma Tidahan, Sitalasari atau berbagai mcam gula lain yang berhubungan dengan tema percintaan yang dapat dimainkan. Gual dipilih sesuaidengan selera kaum muda di warga desa.
Sewaktu pembawa acara menyaksikan bahwa beras yang dibawakan telah ditumbuk menjadi tepung beras dan anak-anak perempuan sudah meletakkan tepung beras basah tadi kedalam wadah batok kelapa, ia lantas meneriakkan keras-keras ‘sapuuu’ (lumuri). Begitu aba-aba diberikan, anak-anak perempuan tadi bergegas menuruni tangga rumah naungan losung yang ditempatkan dipekarangan desa tersebut untuk kemudian menyerang para kaum lelaki yang sedang menari-menari atau sedang ansyik berbicara satu sama lain dengan menggunakan tepung beras tersebut.
Anak-anak perempuan ini dengan bersemangat melumuri wajah, kepala, tangan dan tubuh anak lelaki muda dengan tepung beras yang baru saja mereka tumbuk. Acara permainan ini selanjutnya berubah menjadi permainan petak lari (margalah). Keriuhan memuncak sebagai akibat salingmelumuri satu sama lain antara anak-laki-laki dengan anak perempuan sambil mereka bermain petak lari. Seorang anak perempuan mengajak yang lain untuk menyerang dan melumuri anak laki-laki yang lain. Kerapkali mereka saling bertubrukan satu sama lain antara anak-anak laki-laki dan perempuan. Mereka jatuh berguling-guling dan terkadang sarung atau rok mereka yang kenakan dipinggang terlepas sehingga selama sekian detik mereka tampak telanjang. Tetapi mereka segera bangkit sambil membenahi sarung atau rok mereka dan kembali mengukuti acara permainan tersebut. Para orang tua dan anak-anak ayang menyaksikan kejadian-kejadian itu bersorak-sorak riuh randah. Pada acara itu hampir seluruh anak laki-laki berbuat nakal dengan menarik rok anak-anak perempauan hingga mereka tampak telanjang ataupun sesaat memeluk atau mencium anak-anak perempuan yang menjadi lawan mereka.
Anak lelaki dan perempuan tidak dapat menghindar dari acara ini, karena para warga yang sudah dewasa yang turut menyaksikan dan menikmati acara jenak ini akan menghadang mereka dan mendorong mereka untuk mengikuti acara permainan tersebut. Beberapa dari anak-anak yang mengikuti acara mungkin ada yang mencoba bersembunyi diantara gelondong-gelondong kayu yang menyangga rumah losung, tetapi jika mereka kepergok, mereka akan dulimuri habis-habisan dengan tepung oleh semua anak-anak lainnya. Sebagian besar dari mereka yang yang mengikuti acara tersebut sekujur tubuhnya pada akhirnya akan berlumuran dengan tepung beras, karena kebanyakan waktu mereka digunakan untuk menghabiskan seluruh “bekal persenjataan” tepung beras tadi. Pada saat suasana riuhrendah dan riang ini berlangsung, ansambel musik gonrang ikut menyemangati mereka yang mengikuti acara permainan dengan membawakan berbagai macam gual dari kategori rin-rin, yaitu gual bertempo cepat dengan penekanan pada setiap ketukan keempat.
Setelah seluruh tepung beras tumbukan habis, pembawa acara segera memberikan isyarat untuk berhenti. Anak laki-laki dan perempuan segera berhimpun berbaris menghadap pembawa acara. Makanan yang telah dipersiapkan sebelumnya dihidangkan kepada mereka dengan keadaan tubuh yang masih berlumuran tepung beras. Suara cekikan tawa terdengar ramai di sana-sini diantara anak-anak laki-laki dan perempuan yang saling bercanda ria. Sementara itu kaum warga yang sudah dewasa pulangkerumah untuk makan. Sesudah itu kembali menyaksikan anak-anak mereka menari dengan diiringi alunan musik ansambel gonrang serta memperlihatkan keterampilanmereka bernyanyi dan beradu syair atau pantun.
Kegiatan ini berlansung terus dilangsungkan jauh lewat larut malam hingga dini hari. Sejumlah orang diantara mereka baru pulang tidur pada saat matahari terbit di pagi hari. Hubungan yang terjalin diantara mereka nantinya dapat berkembang hingga ke pelaminan. Maka fungsi perayaan ini adalah menghimpun kaum muda dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk saling mencari jodoh melalui suatu wujud skema sosialisasi yang diakui secara luas. Hal ini lebih penting daripada sekedar kegiatan meresmikan penggunaan losung baru di desa tersebut. Artinya, ritual manogu losung hanya menjadi salah satu sarana untuk merealisasikan ritual marsapu-sapu. Acara ini membangkitkan gairah kegembiraan diantara mereka. Maka upacara marasapu-sapu menjadi suatu selingan bagi rutinitas kehidupan sehari-hari yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh warga. Musik gonrang berperan dalam menciptakan suasana yangmeriah melalui iringan musik-musik ringan yang mereka bawakan untuk tari-tarian dan juga musik bertempo cepat untuk menyemangati kaum muda.
Dewasa ini acara-acara semacam ini mingkin masih dilangsungkan di desa-desa. Sementara di kota-kota, fungsi sosial kaum muda telah diambil alih oleh sarana media komunikasi yang demikian maju baik media cetak maupun media elektronik, perkumpulan keagamaan muda-mudi maupun sekolah-sekolah yang ada, sehingga kaum muda yang dibesarkan di daerah perkotaan pada umumnya sudah tidak mengenai lagi tradisi masyarakat budayanya
Dalam hal ini terdapat beberapa point yang dapat kita simpulkan dari acara manogu losung-marsapu-sapu. Diantaranya :
1. Terdapatnya fungsi sosialisasi, dalam komunitas masyarakat aspek sosial menjadi hal yang amat penting dalam rangka menjalin realisasi dengan masyarakat lain. Seturut arti kata, sosial berasal dari kata Latin, socius yang berarti teman, kawan. Artinya kita sebagai anggota masyarakat harus mencari dan menjalin relasi dengan orang lain dalam hidup bersama. Demikian juga komunitas masyarakat Simalungun anggota masyarakatnya perlu menjalin relasi dengan anggota masyarakat yang lain dalam komunitas desa maupun kota. Hal inilah yang mau dicapai dengan ritual manogu losung marsapu-sapu pada masyarakat Simalungun pada masa dekade tahun 40-an yang lalu. Perlunya bersosialisasi dengan anggota masyarakat lain dalam hidup bermasyarakat.
2. Menciptakan suasana gembira, akrab, menyenangkan, dan enjoy (dalam menikmati) suasana hidup yang berkomunitas sebagai satu kelompok kampung. Lewat permainan marsapu-sapu, para pemuda dan gadis menciptakan suasana yang gembira
3. Membentuk sikap dan mental yang jujur, kuat dan gentle (satria) diantara kaum muda, karena kegiatan mereka disaksikan oleh para orangtua. Artinya perbuatan mereka tidak tersembunyi-sembunyi, tidak malu-malu, jujur karena ulah dan tingkah laku mereka diperhatikan dan diamat-amati oleh seluruh penduduk kampung. Maka mereka diberi suasana kebebasan dari pihak orang tua lewat permainan yang jenaka serta mendidik mereka untuk berani menghadapi tantangan, tidak mencari kesempatan secara tertutup untuk menggangu lawan jenis. Para kaum laki-laki diberi kesempatan untuk menampilkan dirinya yang sebenarnya tanpa harus menyembunyikan identitas diri atau latar belakang hidup.
4. Marsapu-sapu menjadi momen untuk mencari jodoh atau mulai menjalin hubungan yang lebih intim dengan lawan jenis. Artinya kalau diantara mereka ada kecocokan, maka mereka akan melanjutkannya hingga ke pelaminan. Dengan acara tersebut kaum muda diharapkan menemukan jodoh atau pujaan hatinya sebagai calon suami atau istrinya.
Point-point diatas menjadi tawaran dan refleksi dalam kehidupan bermasyarakat Simalungun. Tujuannya untuk membina kaum muda Simalungun sebagaimana disebutkan dalam hal diatas. Dan ini merupakan tanggung jawab dari setiap kaum muda sebagai wujud keprihatinan bersama dalam masyarakat. Dalam hal ini kita diajak untuk mereaktualisasikan ritual manogu losung marsapu-sapu dalam situasi masyarakat dewasa ini.
(oleh: senovian butarbutar; dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...