Senin, 09 April 2012

Si Gale-Gale (Cerita Rakyat Tapanuli)

Penulis: Adhiah Juliarti Harahap
Sumber: sangpencinta-sastralicious.blogspot.com

Alkisah, zaman dahulu kala ada seorang ahli patung yang bernama Datu Panggana. Suatu hari, ia berpikir untuk membuat patung untuk dirinya sendiri. Keesokan harinya, ia berjalan-jalan di hutan sendirian sambil berpikir patung apa yang harus ia buat. Tanpa sadar ia menemukan sebuah pohon yang amat lain dari pohon-pohon lainnya. Pohon itu tidak mempunyai daun, dahan, ranting, dan baunya semerbak mewangi. Ia terinspirasi untuk membuat pohon itu menjadi patung seorang gadis.


Tak lama kemudian, pohon itu sudah menjadi patung seorang gadis yang cantik jelita. Patung itu adalah karya yang paling mengagumkan selama ia membuat patung. Lalu, lewatlah seorang pedagang baju dan perhiasan yang bernama Bao Partiga-tiga. Bao Partiga-tiga sangat tertarik kepada kecantikan patung itu. Karena baju patung itu hanyalah sebatas ukiran kayu, maka ia berembuk dengan Datu Panggana untuk menghias patung gadis cantik itu dengan baju dan perhiasan yang dijualnya. Bao Partiga-tiga memasangkan baju berwarna merah dan perhiasan-perhiasan yang mahal. Ajaib sekali, patung itu bertambah cantik dan mengagumkan karena patung itu menyerupai manusia sungguhan. Kedua lelaki itu amat senang dan berputar mengelilingi patung itu sambil mengucapkan rasa syukur kepada Dewata

Hari sudah hampir menjelang malam. Kedua lelaki itu berpikir bahwa mereka harus segera pulang. Bao Partiga-tiga ingin membawa pulang kembali baju dan perhiasan yang ia kenakan pada patung itu. Namun, barang-barang itu tak mau lepas. Bao Partiga-tiga menjadi kesal dan kini ia tidak tertarik lagi dengan kecantikan patung itu. Bahkan ia ingin menghancurkan patung itu agar barang-barangnya bisa kembali. Namun, Datu Panggana tidak mengizinkan karena ia sudah bersusah payah memahat patung itu. Akhirnya Bao Partiga-tiga mengalah. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing.

Keesokan harinya di hutan, lewatlah seorang dukun yang bernama Datu Partoar. Ketika matanya tertuju pada patung cantik itu, ia mulai tertarik. Ia segera mempersiapkan upacara menghidupkan patung. Ia berseru kepada Dewata agar menghidupkan patung itu karena sudah 20 tahun menikah ia belum juga dikaruniai seorang anak. Tak lama kemudian, patung itu mengedipkan matanya dan perlahan-lahan menggerak-gerakkan tangannya. Ia mengaku kepada gadis cantik jelita yang berasal dari patung itu kalau ia adalah ayahnya dan mengajak patung itu pulang ke rumah untuk bertemu Inang (Ibu) yang sudah lama merindukannya.

Gadis itu diberi nama Nai Manggale. Nama ini sudah dipersiapkan sejak lama kalau Datu Partoar dan istrinya nanti dikaruniai seorang putri. Nai Manggale tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita rupanya maupun budi pekertinya. Ia juga pandai menari dan menyanyi. Kabar tentang asal-usul Nai Manggale pun segera terdengar oleh semua orang tanpa terkecuali oleh Datu Panggana dan Bao Partiga-tiga.Datu Panggana amat geram karena Datu Partoar mencuri patung hasil karyanya. Maka ia berniat untuk merebut Nai Manggale dari tangan Datu Partoar. Ia berpikir kalau yang pantas menjadi ayah Nai Manggale adalah dirinya karena sebenarnya yang membuat patung itu adalah dirinya.

Bao Partiga-tiga juga tak mau kalah. Ia berpikir kalau yang pantas menjadi ayah Nai Manggale adalah dirinya karena tanpa baju dan perhiasan yang bagus yang ia kenakan kepada patung itu, Datu Partoar tidak akan tertarik untuk menghidupkannya. Maka kedunya pergi ke rumah Datu Partoar untuk memperebutkan Nai Manggale. Karena persoalan ini cukup rumit, maka mereka bertiga p ergi ke ketua adat. Ketua adat, mengatakan bahwa ini adalah masalah pertalian darah. Maka diputuskan, Datu Partoar menjadi ayah Nai Manggale, Datu Panggana menjadi pamannya, dan Bao Partiga-tiga menjadi kakaknya. Jadi, mereka bertiga bersama-sama memiliki Nai Manggale.

Suatu hari, ada seorang lelaki yang datang menemui ayah Nai Manggale untuk meminang Nai Manggale. Lelaki itu bernama Datu Partiktik. Namun, lelaki itu bukanlah lelaki idaman seperti yang diharapkan Nai Manggale selama ini karena lelaki itu amat buruk rupa. Lamaran pun ditolak. Ternyata Datu Partiktik belum puas dengan jawaban dari Nai Manggale. Ia yang ternyata adalah tukang sihir segera membuat guna-guna agar lamaran keduanya diterima. Karena guna-guna yang dibuatnya, Nai Manggale jadi jatuh hati kepadanya dan segera menerima lamarannya. Upacara pernikahan pun segera dilangsungkan dengan meriah.

Setelah sekian lama menikah, Nai Manggale belum juga dikaruniai seorang anak. Lama-kelamaan Nai Manggale dilanda sakit keras yang berkepanjangan. Nai Manggale sangat sedih karena begitu banyak musibah yang menimpanya. Ia berpikir mungkin Dewata tidak mengkaruniainya anak karena ia adalah berasal dari sebuah patung. Jadi tidak mungkin patung melahirkan seorang anak manusia. Ditambah lagi, ia tidak bisa meneruskan warisan keturunan marga suaminya.

Pada saat terakhir menghembuskan nafasnya, ia berpesan kepada suaminya agar membuatkan sebuah patung seperti dirinya untuk kenang-kenangan orang-orang yang telah mencintainya selama ini. Patung itu diberi nama Si Gale-Gale seperti nama dirinya, Nai Manggale. Bila permintaannya tidak dipenuhi, maka rohnya tidak akan sentosa. Bila benar begitu, dengan hati terpaksa, maka ia akan menyumpah suaminya, apabila kawin lagi tidak akan mempunyai keturunan.

Nai Manggale berharap, dengan melihat patung itu, orang-orang bisa mengenang dirinya. Dan dengan adanya kenangan ini, moga-moga mereka dapat merasakan kesedihan semua wanita yang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan. Atas permintaan itu, maka Datu Panggana si ahli patung membuat sebuah patung yang persis seperti Nai Manggale dahulu dan diberi nama Si Gale-Gale.

Sejak itulah, patung Si Gale-Gale adalah sebuah patung kematian yang dibuat bila seseorang meninggal tanpa mempunyai keturunan. Maksudnya, agar roh mendiang tidak berduka di alam baka. Adapun patung Si Gale-Gale, ada kalanya dibuat tanpa kepala. Kemudian, pada bagian kepala itu ditempatkanlah tengkorak yang meninggal. Muka patung diwarnai dengan kuning telur, sedangkan mata dibuat dari buah-buahan yang berwarna merah atau besi berbentuk mata. Patung ini diberi pakaian bagus dan berharga; ini mengingatkan kepada pakaian yang ipasangdkan oleh Bao Partiga-tiga. Adapun subang patung terbuat dari bahan perunggu. Sedangkan rambut terbuat dari rambut kuda lengkap dengan ikat kepala.

Menurut kepercayaan dahulu di Tanah Batak, terutama di sekitar Danau Toba, roh  orang yang meninggal tanpa mewariskan keturunan tersebut  akan menitis ke dalam patung ini. Patung pun lalu dituntun oleh seorang dalang yang memakai sorban dan penonton pun lalu menari mengitari patung seraya memberi sedekah pelipur kepada patung.

Tarian itu, sebagaimana sedekah itu sendiri, dimaksudkan untuk menghibur roh mendiang yang merasa sedih karena mati tiada meninggalkan keturunan. Upacara menari itulah yang disebut“Papurpur Sepata” yang artinya menabur sumpah. Hal ini rupanya bertalian dengan sumpah yang diancamkan Nai Manggale kepada suaminya, Datu Partiktik, bila suaminya tidak memenuhi pesannya yang terakhir.

Untuk mengiringi tarian itu, seorang perempuan tua akan menyanyi dengan suara nyaring dan menggetarkan. Lalu patung akan berputar di atas peti panjang yang memakai roda, selaras dengan nyanyian itu. Maksud patung berputar ialah untuk memeluk teman-teman dan kaum kerabat. Dan pada saat itu patung kelihatan menangis karena di atas kepalanya diletakkan orang sepotong kain basah.

Dan …. Bila kita mengunjungi Museum Nasional di Jakarta, di bagian khusus kebudayaan Batak akan kita temui patung Si Gale-Gale. Patung besar yang dipajang dalam kotak serupa lemari dengan dinding kaca sekelilingnya. Dan begitu kita melihat patung itu di sana, maka akan teringatlah oleh kita kisah Nai Manggale ini, putri teladan yang cantik tiada terperi, tapi amat berbudi. Putri angkat Datu Partoar, yang tadinya hanyalah sebuah patung hasil karya Datu Panggana….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...