Senin, 09 April 2012

Sigale-gale, Patung Pelipur Lara

Penulis: Sahala Napitupulu
Sumber: aymondsitorus.wordpress.com

Dahulu kala, hiduplah seorang Raja di daerah Uluan bernama Raja Rahat. Raja ini telah lama ditinggal mati istrinya. Ia hanya memiliki seorang putra, Mahkota kerajaan bernama Manggale. Raja sangat bijaksana dalam memimpin negerinya yang tentram dan makmur. Sedangkan Manggale selaku putra mahkota dihormati dan disegani karena ketangkasannya dalam berperang, menjunjung tinggi kebenaran dan mencintai rakyatnya.
Suatu hari terdengar kabar bahwa di hutan
perbatasan Uluan telah berkumpul pasukan dari seberang negeri Uluan hendak menyerang dan menjarah harta kekayaan Uluan. Rakyat tampak gelisah demikian pula sang Raja. Beliau berusaha keras memikirkan rencana menghadapi ancaman ini. Sang Raja lalu mengumpulkan penasehat – penasehatnya. Para tetua kampung, Datu – datu, dan tentu saja Putranya Manggale selaku panglima perang.

“Pasukan musuh telah sampai ke Uluan. Rakyat sangat gelisah, Mereka menunggu keputusan saya. Bagaimana nasihat kalian?” Tanya sang Raja. Namun para penasehat saling memandang dengan wajah kalut dan takut.Diantara para penetua, ada seorang Datu bernama Datu Mangatas. Ia dianggap sebagai Penasehat tertua kerajaan dan ucapannya sangat didengarkan oleh Sang Raja. Setelah berpikir keras, ia akhirnya menghela nafas. “Musuh yang akan kita hadapi sangatlah kuat. Mereka terkenal tangkas dalam berperang dan memiliki pasukan berkuda yang cukup kuat. Tapi jangan takut. Pasukan Uluan bisa mengalahkannya. Utuslah Manggale untuk memimpin pasukan itu, Ketangkasan dan pengalaman berperangnya akan sangat kita butuhkan.” Begitu saran sang Datu. Raja Rahat melayangkan pandangan ke arah seluruh penasehat. Tidak ada satupun yang menyangkal. Semua penasehat setuju. Maka genaplah sudah keputusan sang Raja. “Baiklah, Saya Raja Rahat, Raja Negeri Uluan memerintahkan putra saya, Pangeran Manggale untuk memimpin pasukan Uluan menghadapi musuh di Hutan Perbatasan. Kiranya Debata Mula Jadi Nabolon melindungi dan menyertai pasukan kita.”
Enam bulan berlalu, Manggale dan pasukannya masih berperang di dalam hutan. Raja Rahat dan rakyat uluan terus menantikan kepulangan mereka. Tidak ada kabar apakah pasukan Uluan menang? Apakah Manggale masih hidup? Tidak ada yang berani masuk ke dalam hutan.
Hari demi hari Sang Raja terus menunggu. Sampai suatu ketika ia bermimpi. Dalam mimpinya ia melihat seekor burung gagak yang sedang terbang di atas rumahnya tiba – tiba jatuh karena tertusuk anak panah dan mati. Adakah ini sebuah isyarat dari Debata Mula Jadi Nabolon? Pikirnya. Sejak saat itu Sang Raja sering merenungi makna mimpi itu. Beliau menafsirkan arti mimpi itu sebagai pertanda buruk. Sementara Perasaannya kepada anak semata wayangnya begitu menyiksanya. Tak tahan hatinya dilanda rindu ingin bertemu dengan putranya tersebut. Bagaimana kabar Manggale sekarang? Dimana dia? Apakah dia masih hidup? Beliau semakin sering termenung berlama – lama. Ia lebih suka mengurung diri di dalam kamar selama berhari-hari. Terkadang sang Raja tidak menyentuh makanan dan minuman yang disediakan. Bahkan sering tidak mandi atau membasuh muka untuk menyegarkan tubuh. Rakyat uluan pun kian cemas kalau – kalau sang Raja akan jatuh sakit.
Melihat situasi ini, para tetua dan penasehat Raja berkumpul sepakat untuk melihat keadaan Sang Raja. Sesaat setelah mereka masuk ke dalam kediaman Raja betapa hati mereka sedih melihat kondisi Sang Raja yang terbaring lemas dan tak bisa berbicara. Wajahnya pucat pasi. Sang datu menjamah tubuh Sang Raja. “Tidak ada penyakit padanya. Raja kita pasti sakit karena memikirkan putranya. Dia sudah sangat merindukan kedatangan Pangeran Manggale.” Ujarnya. Lalu ia mengajak semua yang hadir keluar dari kamar sang Raja untuk memikirkan cara penyembuhannya. Mereka pun berunding. Apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan sang Raja? Menghadirkan Manggale kepada sang Raja? Rasanya tidak mungkin. Datu Mangatas lalu memberikan masukan. “Kita akan membuat patung yang menyerupai wajah Manggale. Dengan melihat patung itu, mudah – mudahan kerinduan sang Raja bisa terobati.” Sesaat semua orang yang hadir terdiam memikirkan ide tersebut.
“Tapi siapa yang akan mengerjakan patung itu dan dimana mereka akan mengerjakannya?” Tanya seorang penasehat. “Saya mengenal seorang yang pintar membuat patung manusia di daerah Lumbanjulu ni huta. Dialah nanti yang akan mengerjakan patung tersebut. Dan jika nanti patung itu telah selesai, kita akan mengundang roh Manggale untuk masuk ke dalam patung tersebut.” Jawabnya.
“Tapi, bagaimana cara memanggil roh Manggale supaya mau datang?”
“Tiuplah sordam dan tabuhlah Gondang Sabangunan. Saya nanti yang akan manortor. (menari) untuk memanggil roh Manggale.” Kata Datu Mangatas.
Tiga bulan kemudian sesuai petunjuk Datu Mangatas, upacara untuk memanggil roh anggale dilakukan tepat saat bulan purnama.

Patung Sigale - Gale di Museum Batak TB Silalahi Center
Persiapan telah selesai. Saat yang ditunggu tunggu pun telah tiba. Seluruh warga berkumpul mengelilingi lapangan tempat upacara dilakukan. Patung Manggale diletakkan di tengah – tengah kerumunan. Ukuran dan tinggi patung tersebut menyerupai ukuran tubuh Manggale. Semua orang yang datang duduk hening. Mereka menantikan sang Raja untuk masuk bersama sang Datu yang akan memimpin upacara. Tak lama kemudian Sang Raja tiba di lokasi. Demi melihat patung Manggale sang Raja segera menangis. Lama ia menatap patung itu seperti tak percaya pada penglihatannya.
“Manggale… anakku…” desahnya lirih nyaris tak terdengar. Semua terharu. Beberapa saat berlalu, Datu Mangatas memberikan isyarat kepada pargonci untuk memainkan gondang Sabangunan.
Mula – mula musik diawalai dengan tiupan sordam. Menyusul tabuhan Gondang, Sang datu mengambil tali tiga warna ; merah, hitam dan putih. Lalu mengikatnya di kepala Patung itu. Ia lalu mengenakan ulosnya, dan masuk ke tengah lingkaran. Merapal matra sambil menari mengelilingi patung tersebut sampai tujuh kali, dan tiba – tiba patung itu mulai bergerak. Tidak hanya bergerak, tapi juga manortor. Patung itu manortor bersama sang datu. Kemudian Datu menjemput sang Raja untuk ikut manortorb ersama patung manggale. Raja bangkit berdiri dan ia pun ikut manortor.
Pargonci terus menabuh gondang. Rakyat uluan demi melihat sang Raja manortor bersama patung Manggale begitu terharu. Mereka pun tidak tinggal diam dan ikut bergabung manortor bersama –sama. Semua bergembira. Mereka manortor bersama patung Manggale sampai fajar terbit. Namun “pesta” harus segera diakhiri, karena begitulah perjanjiannya. Roh yang dipanggil akan segera kembali ke alamnya sebelum ayam berkokok. Roh Simanggale pun terbang meninggalkan patung itu dan seluruh warga uluan yang hadir. Dan patung itupun tidak dapat lagi bergerak.
Raja Rahat lalu menyimpan patung itu. Demikianlah sang Raja terhibur. Bagaimanapun ia telah bertemu dengan putranya si Manggale. Sejak saat itu, apabila Sang Raja rindu bertemu dengan putranya, ia akan mengadakan upacara pemanggilan roh dan akan manortor bersama “anak”-nya itu sampai pagi. Patung ini kemudian dinamai Sigale-gale karena gerakannya yang lemah dan seolah tak bertenaga. Demikianlah upacara itu selalu dilakukan berulang ulang hingga sang Raja meninggal dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...